Minggu, 01 Desember 2013

Seni Tradisi Surakarta

Seni tradisi adalah suatu bentuk seni yang menjadi adat, kebiasaan dan menjadi ciri khas suatu daerah. Membahas seni tradisi di Surakarta maka sejarah perkembangannya tidak dapat dipisahkan dengan dengan keberadaan keraton sebagai sumbernya. Di Surakarta yang merupakan kota budaya banyak sekali terdapat bermacam-macamseni tradisi dan kebanyakan seni tradisi di Surakarta merupakan perpaduan antara seni karawitan, seni tari, seni drama maupun seni seni pedhalangan serta tembang.

Macam-macam Seni Tradisi di Surakarta :
1.      Tari Bedhaya
Tari Bedhaya di Surakarta merupakan salah satu contoh tari tradisi masa lampau yang tumbuh di istana dengan berbagai filosofis dan simboliknya, juga merupakan salah satu aktivitas religius kaum bangsawan dan bersifat Syiwaitis, yaitu kepercayaan kepada Dewa Syiwa. Dengan demikian diperkirakan Tari Bedhaya dilatarbelakangi pemikiran Hindu Jawa. Dalam penyajiannya Tari Bedhaya dapat disajikan dengan 7 penari maupun 9 penari. 7 penari melambangkan 7 bidadari di kahyangan, sedangkan 9 penari merupakan simbolik dari 9 lubang kehidupan atau dapat juga karena pengaruh dari agama Islam yaitu adanya Wali Sanga.
Tari Bedhaya dari Keraton Kasunanan Surakarta yang dianggap sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang karena berhubungan dengan alam ghaib yaitu hubungan mistis antara keturunanPanembahan Senapati sebagai Raja Mataram dengan penguasa ratu laut selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini diawali ketika Panembahan Senapati bertapa, mengakibatkan kekacauan dan ketidaktentraman wilayah laut selatan, maka Kanjeng Ratu Kidul memohon agar Panembahan Senapati menghentikan bertapanya dengan pernyataan bahwa Kanjeng Ratu Kidul dan bala tentaranya akan selalu membantu apabila Panembahan Senapati memerlukan dan keduanya kemudian menjalin hubungan asmara. Tari Bedhaya Ketawang di Kraton Kasunanan Surakarta pementasannya hanya pada waktu upacara 'Jumenengan' (ulang tahun raja menduduki tahta) ditarikan oleh 9 penari putri dengan karakter putri halus, tanpa antawacana menggunakan rias busana sama / kembar yaitu basahan atau dodot ageng dan tata rias seperti temanten jawa lengkap dengan paes serta gelung bokor mengkurep. Sedangkan dari Keraton Yogyakarta, Bedhaya yang masih dianggap sakral adalah Tari Bedhaya Semang. Macam-macam Tari Bedhaya antara lain Bedhaya Pangkur, Bedhaya Sinom, Bedhaya Duradasih, Bedhaya Mangunharja, Bedhaya La-la dan lain sebagainya. Adapun kata di belakang Bedhaya menunjukkan nama gendhing iringannya.
2.     Tari Srimpi
Tari Srimpi juga merupakan tari tradisi klasik dari Keraton Surakarta yang sarat dengan makna simbolik, ditarikan oleh 4 orang penari putri yang merupakan simbol dari empat arah mata angin atau juga bisa pengaruh kasta pada agama Hindu, dengan karakter putri halus dan pakaian kembar, tidak menggunakan antawacana. Tari Srimpi yang masih dianggap sakral di Keraton Kasunanan Surakarta adalah Tari Srimpi Angelir Mendhung, sebab tarian ini merupakan suatu doa permohonan yang ditarikan pada saat kemarau panjang dengan harapan setelah selesai ditarikan akan segera turun hujan. Busana pada Tari Srimpi menggunakan jarik / kain model samparan dengan baju rompi atau mekak dan berjamang. Macam-macam Tari Srimpi antara lain Tari Srimpi Dhempel, Srimpi Ludiramadu, Srimpi Gondokusuma, Srimpi Gambirsawit, dan lain sebagainya. Sama seperti Tari Bedhaya, kata di belakang Srimpi menunjukkan nama gendhing iringannya.
3.     Tari Gambyong
Tari Gambyong merupakan tari tradisi Surakarta yang biasa digunakan untuk berbagai macam acara antara lain acara resepsi pernikahan, penghormatan tamu, pentas seni dan lain sebagainya. Tari Gambyong merupakan penggambaran dari seorang remaja putri yang berhias diri. Busana pada Tari Gambyong biasanya menggunakan jarik model wiru putri dengan angkin dan gelung malang. Sedangkan kata di belakang Tari Gambyong menunjukkan nama gendhing atau iringannya. Macam-macam Tari Gambyong antara lain Gambyong Pareanom, Gambong Ayun-Ayun, Gambyong Pancerana dan lain sebagainya.
4.     Tari Golek
Mengacu pada Tari Golek, Tari Golek berasal dari kata golekan yang artinya boneka dari kayu, dan apabila anak-anak perempuan bermain golekan atau boneka maka cenderung boneka tersebut dirias baik wajah, rambut maupun bajunya agar kelihatan lebih menarik, yang kemudian anak tersebut ikut berdandan juga dan aktivitas berain tersebut dapat menumbuhkan kreativitas pada anak-anak, maka hingga sekarang kita mengenal Tari Golek sebagai tari tradisi di Surakarta yang menggambarkan seorang anak yang sedang berdandan atau berhias diri dengan karakter putri endhel (lincah) dan busana jarik sonder / wiru di samping, baju rompi dengan menggunakan jamang. Seperti pada Tari Gambyong, lata di belakang Golek menunjukkan nama gendhing iringannya. Macam-macam Tari Golek antara lain Golek Manis, Golek Mugirahayu, Golek Surungdhayung, Golek Sukaretna, Golek Tirtakencana, Golek Sri Rejeki, dan lain sebagainya.
5.     Wayang Orang
Wayang orang adalah seni pertunjukan yang memadukan tiga tiga cabang kesenian yaitu tari, drama, dan karawitan. Wayang orang disebut juga wayang wong lahir pada pertengahan abad XVIII di dua istana yaitu di Yogyakarta dan Surakarta kemudian berkembang di luar istana. Wayang orang merupakan personifikasi dari wayang kulit yang terlihat jelas dari berbagai aspek antara lain sumber cerita, penggolongan karakter, karawitan, antawacana (dialog), peranan dialog dan busana serta tata riasnya. Sumber cerita baik di Surakarta maupun Yogyakarta mengambil cerita Mahabarata ataupun Ramayana dan kedua sumber tersebut bisa dibagi menjadi beberapa episode serta beberapa jenis lakon antara lain :
1.      Lakon Baku adalah lakon yang diangkat dari cerita induk Ramayana dan Mahabarata.
2.     Lakon Carangan adalah lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang termuat dalam cerita induk Ramayana dan Mahabarata.
Dalam penyajiannya wayang wong menggunakan gerak tari tradisi dengan norma gerak sesuai masing-masing karakter pada tokohnya. Wayang orang diiringi karawitan dan dibantu seorang dalang yang bertugas mengatur jalannya pertunjukan agar lebih jelas alur ceritanya.
Adapun tugas pokok dalang dalam wayang orang adalah :
1.      Memberi narasi tentang apa yang telah dan akan terjadi.
2.     Mengisi suasana adegan dengan vokal yang berupa suluk, sendon atau ada-ada.
3.     Memberikan tanda-tanda lewat vokal maupun bunyi kecrek dan keprak pada pemain.
Rias dan busana pada wayag orang identik dengan busana pada wayang kulit di Surakarta, maka sering disebut rias baku yaitu rias yang tidak dapat diubah. Sebagai contoh Anoman dan Gatutkaca harus mengenakan jarik motif poleng. Bentuk jamang / irah-irahan yang dikenakan oleh masing-masing tokoh juga dibedakan menurut kedudukannya, misalnya jamang susun tiga untuk raja, jamang berbentuk runcing (lancip) untuk peran yang mbranyak / keras dan jamang berelung-relung (lung) untuk peranan lembut. Khusus untuk peranan raksasa dan kera menggunakan cangkeman (tiruan mulut) yang dikenakan untuk menutup mulut dan dikaitkan pada kedua telinga. Sedangkan antawacana / dialog yang digunakan sama seperti dialog pada wayang kulit yakni dengan menggunakan bahasa jawa kawi, bahasa jawa ngoko maupun krama sesuai dengan tokoh pada wayang tersebut.
6.    Kethoprak
Kethoprak adalah sebuah bentuk teater jawa dengan unsur utama dialog, tembang, dan dagelan / lawakan. Para pemain terdiri dari pria dan wanita yang diiringi dengan gamelan jawa. Rias dan busananya tidak baku atau dapat di kreasi menyesuaikan cerita. Gerakan cenderung realistik, tidak menggunakan gerak tari, hanya pada adegan tertentu terkadang ada sedikit unsur tarinya. Cerita yang dibawakan mengambil dari dongeng, babad, sejarah, cerita rakyat, bahkan terkadang cerita asing. Kethoprak awal mulanya tidak diiringi gamelan jawa tetapi dengan iringan dari permainan lesung (alat penumbuk padi).
7.     Langendriyan
Langendriyan adalah drama tari yang dialognya mengunakan tembang dan tidak menekankan pada gerak teri tetapi lebih menekankan pada seni suara atau olah vokal. Langendriyan berasal dari kata lango (hiburan) dan driya (hati) maka langendriyan berarti pertunjukan penghibur hati. Langendriyan lahir pada abad ke XIX di Surakarta dan disebut Langendriyan Mandraswara diciptakan oleh RMH Tondokusuma pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara IV, lahirnya Langendriyan atas permohonan seorang warga keturunan Jerman bernama Gotlieb seorang pengusaha batik dimana setiap harinya Gotlieb mendengar buruh-buruhnya bekerja sambil melantunkan tembang saling bersahutan. Selanjutnya oleh Mangkunegara IV Langendriyan diangkat sebagai suatu kesenian di istana dan dipentaskan pertama kali pada perayaan jumenengan KGPAA Mangkunegara ke V. Pada mulanya pemain langendriyan adalah putri semua dengan mengambil cerita rakyat Babad Majapahit dengan tokoh-tokoh antara lain Ratu Ayu Kencana Wungu, Menak Jingga, Damarwulan, Anjasmara, Dayun dan lain sebagainya. Di Yogyakarta juga berkembang langendriyan gaya Yogyakarta atau disebut Langenmandrawanara dengan cerita Ramayana dan posisi menari berjongkok dengan penari putra.
8.     Sendratari
Sendratari adalah rangkaian cerita yang terdiri dari beberapa adegan yang dilakukan dengan gerakan tari terpadu dan tanpa dialog. Pada sendratari penekanannya pada keterpaduan antara gerak tari dengan penghayatan dramatisasi perannya. Sendratari merupakan singkatan dari seni drama dan tari.
9.     Fragmen
Fragmen adalah rangkaian cerita yang hanya satu atau dua adegan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan tari dan dapat menggunakan dialog atau tanpa dialog.
10. Wayang Kulit / Wayang Purwa
Wayang kulit adalah bentuk kesenian yang menempatkan dalang sebagai tokoh utamanya dengan cerita Mahabarata dan Ramayana dengan iringan gamelan lengkap dan biasanya sampai semalam suntuk. Pada perkembangannya sekarang wayang kulit bisa di variasikan dengan bermacam-macam antara lain pelawak, penyanyi ataupun ditambah dengan musik diatonis, juga durasi waktu pertunjukan dapat diringkas atau dipadatkan menjadi lebih kurang tiga jam yang disebut dengan pakeliran padat.
11.   Sekaten
Sekaten merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pada zaman dahulu digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam. Hingga saat ini menjadi suatu upacara adat Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu pada setiap Bulan Mulud dengan membunyikan gamelan Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu yang ditempatkan di bangsal sebelah utara dan selatan halaman Masjid Agung Surakarta. Gamelan tersebut dibunyikan dari tanggal 6 sampai dengan 12 (kalender jawa) setiap hari dari siang sampai malam hari.


Sumber : Buku Kesenian Daerah kelas 9

5 komentar: